“Kita tidak bisa memiliki pendidikan tanpa Revolusi, Kita telah mencoba Pendidikan Damai selama seribu sembilan ratus tahun. Mari kita coba revolusi dan kita lihat apa yang dapat dilakukan sekarang !!!”
- Hellen Keller -
Memasuki tahun ajaran baru, senyuman bahagia nampak dari wajah-wajah polos tunas-tunas bangsa terutama bagi mereka yang telah diterima di sekolah atau PTN favorit di kotanya atau bahkan di Indonesia. Jerih payah masalalu sudah terlupakan dan menjadi kenangan manis untuk merangkai cita dan impian di masa depan. Kebahagiaan terdalam juga dirasakan oleh orangtua siswa/siswi, melihat buah hatinya dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri /PTN favorit di
Indonesia. Namun kebahagiaan itu harus bertekuk letut pada realitas yang ada. Krisis moneter 1998 yang lalu masih menyisakan permasalahan yang terus menghantui dunia pendidikan diIndonesia.
Garis liner yang dijejalkan kaum kapitalis bahwa Pendidikan erat dengan kualitas dan kualitas identitik dengan kata mahal masih menjadi opini yang dimaklumi dimasyarakat, belum lagi masalah kurikulum dimasuki kepentingan politik dan kekuasaan, sistem pendidikan yang tidak jelas falsafah, tujuan, sistem, metodologinya dan menejemen pendidikan yang tidak ditangani dengan professional, semua itu menambah suramnya dunia pendidikan di Indonesia. Proses berbanding lurus dengan hasil. Jika prosesnya buruk, jangan pernah berharap mendapatkan hasil yang baik kecuali mengharap datangnya mukzizat dari Tuhan. Hasil dari pola pendidikan semerawut khas gaya Indonesia hanya mampu menghasilkan generasi ‘kacung’ dengan daya kualitas SDM yang semakin turun, daya saing yang rendah dan mentalitas yang lemah. Refleksi dari ini semua adalah sebuah bentuk keprihatinan yang mendalam bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Menilik sejarah pendidikan Indonesia, sejak zaman sejarah hingga saat ini ternyata pola “sejarah selalu berputar” kian nyata dan realitasnya dapat dilihat saat ini. Pada masa raja-raja berkuasa, hanya calon raja-raja dan bangsawan yang berhak mengenyam pendidikan untuk bekal mereka dalam memerintah negeri. Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat berharga pada masa itu meskipun pendidikan yang dimasud hanya berorientasi untuk meningkatkan kekuatan fisik dan pengelolaan administrasi negara dalam ruang lingkup yang masih sangat sederhana. Hal ini terulang kembali pada masa penjajahan. Pada masa Belanda berkuasa di Indonesia Kelas social di bagi tiga yaitu Kelas bangsa Asing-Eropa, Kelas Bangsa Asia-Timur tengah dan yang menempati kelas terbawah adalah bangsa Pribumi Hindia Belanda. Hanya anak-anak Asing-Eropa dan bangsawan yang dapat menikmati pendidikan sedangkan rakyat jelata harus menerima takdir sebagai kaum yang lemah, tertindas dan tak berpendidikan. Kesadaran bahwa Pendidikan dapat memajukan suatu bangsa mulai dirasakan R.A Kartini dan teman teman sejawatnya. Secara intuitif beliau menyadari bahwa bangsa yang mandiri dapat terbentuk jika Ilmu pengetahuan dapat dikuasai. Atas dasar itulah beliau dengan dorongan dari saudari-saudarinya mendirikan sekolah gadis yang khusus diperuntukkukan untuk perempuan yang pada masa itu sangat dibedakan haknya daripada pria. Kartini tidak hanya sebagai sosok feminist yang membela hak perempuan tetapi lebih dari itu beliau sebagai orang pertama yang menyadari pentingnya pendidikan untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya. Jejak beliau diteruskan oleh Suryadi Suryaningrat atau kihajar Dewantara dan Dowes Dekker. Dengan membuka sekolah umum bagi rakyat jelata berharap pendidikan dapat membuka cakrawala berfikir dalam bertindak dan bertingkahlaku. Kesadaran untuk merdeka seutuhnya dan ketidak inginan tertindas oleh bangsa lain serta kesadaran politik yang tinggi perlahan akan timbul dalam suatu bangsa yang terus menerus meningkatkan pendidikannya. Hasilnya muncul manusia-manusia yang kelak dapat membangun sebuah gerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Sejarah masa lampau Indonesia telah membuktikan kontribusi pendidikan dalam mencapai kemerdekaan. Yah….memang pendidikan seharusnya seperti matahari yang menyinari bumi, menghangatkan jiwa-jiwa kosong tak berarti menjadi jati diri yang kuat dan mandiri. Tapi yang sesungguhnya terjadi di tanah air kini, sebuah wajah pendidikan yang dilukiskan dalam penampakan yang suram, terselebung kepentingan & keegoisan dan terkandung keserakahan serta Pemerasan. Cita-cita untuk ‘tinggal landas’ pada 2010 nampaknya pupus sudah menjadi ‘tinggal di landasan’ mengingat SDM yang semakin turun kualitasnya bahkan menurut IMD (2000) Indonesia memasuki peringkat ke 45 dari 47 negara dalam daya saing, sungguh menyedihkan!
Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998 silam, program wajib belajar 9 tahun makin terlupakan ataukah sengaja dilupakan mengingat banyak sektor diluar pendidikan harus dibangun. Anggaran untuk pendidikan hanya dianggarkan 13,6 triliun atau sekitar 4 % dari anggaran APBN padahal untuk mencapai pendidikan yang murah dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia setidaknya diperlukan 20 % dari APBN untuk anggran pendidikan. Akibatnya dapat dirasakan hingga saat kini yaitu biaya pendidikan yang semakin mahal. Fakta membuktikan 42 % SD mahal, 45% pendidikan di SMP/SLTP mahal dan 51 % pendidikan di SMU tergolong mahal (kompas,Juni 2003) dan sudah pasti pendidikan tinggi jauh lebih mahal. Apakah pendidikan yang berkualitas mesti mahal? Semua yang kompleks bisa disederhanakan jika pemerintah bekerja dengan hati dan otak bukan dengan nafsu! dan anehnya trend mahal menjadi suatu pemakluman masal. Opini ini sengaja di bentuk oleh kaum kapitalis yang ingin merambah ke dunia pendidikan. Hasilnya hanya segelintir orang yang dapat mengenyam pendidikan itupun hanya berhasil mencetak generasi ‘kacung’ sedangkan sisanya menjadi kaum proletar abad 21 yang bersiap untuk ditindas zaman. Inilah pola ‘sejarah selalu berputar’. Jika hal ini terus berlanjut bersiaplah menghadapai proses pemiskinan global di Indonesia.
Pendidikan merupakan Investasi. Hal ini sudah disadari perancis setelah masa Revolusi bahwa semua warga mempunyai hak yang sama dalam pendidikan dan pendidikan ditangani langsung oleh pemerintah sehingga membuka kesempatan bagi semua warga untuk memperuleh pendidikan. Jepang dengan Restorasi Meji sesudah Perang dunia II. Setelah perang tersebut, reformasi pendidikan diterapkan dan bertujuan untuk membangun masyarakat yang demokratis, meniru sistem pendidikan Amerika Serikat. Konstitusi baru Jepang menetapkan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan dasar pendidikan untuk menjalankan reformasi ini. Contoh keberhasilan negara-negara tersebut dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tidak terlepas dari komitmen pemerintahnya sejak awal dan terus berkelanjutan.
Kembali kita melihat kembali wajah pendidikan Indonesia saat ini. Jika ditinjau dari falsafah, tujuan hingga metodoliginya Indonesia sama sekali tidak mempunyai itu semua apalagi komitmen dari pemerintah, hasilnya pendidikan di Indonesia tidak terarah dan mudah rapuh. Tidak terarah, karena tidak mempunyai tujuan yang jelas. Realias yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa orang mendapatkan pendidikan untuk sekolah bukan berpendidikan untuk mempertahankan hidup. Paradigma ini mendorong seorang anak terasing dari lingkungan sosialnya dan mebuat anak hanya dapat menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sudah ditaur tidak menjadi seseorang yang kritis dan memecahkan persoalan dirinya dan masyarakatnya sesuai denagn lingkungan tempat dia berada. Mudah rapuh, Sistem pendidikan Indonesia tanpa tujuan dan falsafah dasar dapat menjadi rapuh. Mudah dimasuki pihak-pihak yang berkepentingan. Contohnya jelas terlihat dari Liberalisasi Pendidikan yang tawarkan oleh IMF. Saran ini bukan menjadi obat justru menjadi racun bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Dengan menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga otonomi menyebabkan banyaknya peluang pihak swasta untuk mengeruk keuntungan di bidang pendidikan. Hasilnya pendidikan menjadi komuditas seperti layaknya cabai atau bawang di pasar. Dalam pasar terjadi jual beli, semakin mahal maka semakin bagus kualitas barangnya dan ini terjadi di dunia pendidikan saat in. Lelang kursi PTN favorit di legalkan, jual beli gelar sudah menjadi hal biasa, uang pangkal yang semakin meningkat setiap tahunnya terus dilakukan. Melihat kacaunya dunia pendidikan di
Indonesia
lantas kita bertanya, di mana peran Departemen Pendidikan Nasional yang konon katanya sebuah lembaga yang mengatur pendidikan di
Indonesia? Dimana pula komitmen pemerintah untuk mengatur ini semua?. Sesuai denagan pasal 31 UUD bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga dan pasal 31(2) bahwa pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 %. Maka pemerintah melalui kebijakannya bertanggung jawab atas ini semua!
Hanya ada dua kata “Revolusi Pendidikan”. Revolusi ini dilaksanakan oleh objek dan subjek pelaku pendidikan. Momen pemilihan presiden RI saat ini sangat tepat untuk menyodorkan ide Revolusi Pendidikan. Hendaknya dibuat Lokakarya Nasional yang melibatkan perwakilan tokoh pendidikan, pelaku pendidikan dan penikmat pendidikan dari seluruh wilayah Indonesia
dengan tema besar yaitu “Revolusi Pendidikan”. Tujuan dari lokakarya nasional ini jelas untuk menjawab segala persoalan di bidang pendidikan yang hingga kini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Masalah tersebut berkisar pada dasar, tujuan metodologi,sistem, kurikulum samapai pembiayaan pendidikan dari tingkat pusat hingga daerah terpencil. Hasil keputusan Lokakarya ini disodorkan sebagai rekomendasi untuk dijalankan oleh pemerintahan yang baru.
Ilmu pengetahuan menentukan peradaban suatu bangsa. Kemajuan Ilmu Pengeathuan ditentukan proses berjalannya pendidikan. Dan Pendidikan yang murah, meata dan Berkeadilan bagi seluruh Rakyat adalah jawabannya
Depok, 2004
Indah Survyana
Thursday, August 7, 2008
REVOLUSI PENDIDIKAN INDONESIA
Posted by Indah Survyana at 2:28 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
menurut saya, sebagai calon sarjana psikolog, pendidikan jangan didekati menggunakan view politis namun harus dengan gabungan psikologi dan politis..
memang benar dalam ranah politis pendidikan harus dijebol melalui APBN pememerintah. namun mengenai BAGAIMANA bentuk pendidikannya perlu intervensi dari psikologi..
dua pendekatan yang menurut saya visible untuk digunakan oleh Indonesia adalah Multiple Intelegencenya Howard gardner dan Pandangannya Stenberg bahwa pelajar harus berperan secara aktif dan mengalami benturan budaya.
namun sayangnya saya cuma pengamat yang tidak mengeksekusi pemikiran..
Post a Comment