Wednesday, August 6, 2008

Membuka Kerangka Dongeng Cinderella (2)

MITOS KECANTIKAN DALAM KERANGKA DONGENG CINDERELLA

"Alkisah, disebuah negeri antah berantah hiduplah seoang gadis yang cantik jelita namun dia menderita hidupnya akibat ulah ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Dia menjadi pelayan bagi Ibu tiri dan kedua saudara tirinya. Suatu ketika pangeran mengumumkan akan mengadakan pesta dansa 3 hari 3 malam untuk mencari Isteri. Para gadis di desa itu sibuk mempersiapkan diri dengan mempercantik diri mereka, membeli gaun yang indah untuk pergi ke pesta dansa itu. Tak terkecuali kedua saudara tiri Cinderella. Harapan para gadis-gadis itu hanya satu, menjadi yang tercantik, dapat memikat hati sang pangeran, dan selanjutnya dapat menjadi isteri pangeran, dan dapat hidup sampai akhir hayat dengan bergelimang kemewahan dan kekayaan...."

Cuplikan resensi Film diatas diambil dari film yang berjudul Cinderella Story. Selain melalui film Cinderella, kisah Cinderella dituangkan dalam berbegai bentuk mulai dari kartun, buku bacaan anak hingga mainan untuk anak-anak. Tak heran bila kisah ini terus melekat di hati para anak-anak khususnya anak perempuan. Tetapi tanpa kita sadari penciptaan dari dongeng-dongeng Putri dan Raja atau dongeng-dongeng kepahlawanan seperti ini mempunyai misi tersembunyi dibalik penciptaannya. Saya akan mengambil kisah Cinderella sebagai contoh untuk menjelaskan misi tersembunyi tersebut melalui perspektif feminis.

Yang menarik untuk dibicarakan disini dimana para gadis bersusah payah mempercantik diri mereka hanya untuk pergi ke pesta istana. Mengapa? Karena mereka ingin mengikat hati pangeran. Lalu apa? Selanjutnya dapat menjadi isteri pangeran, dan dapat hidup sampai akhir hayat dengan bergelimang kemewahan dan kekayaan.
Dongeng-dongeng semacam ini sengaja diciptakan sebagai penegasan bahwa perempuan adalah 1).Makhluk inferior yang tidak bisa hidup tanpa mengandalkan penampakan fisik mereka. 2). Makhluk lemah, tidak dapat hidup mandiri, dan selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki. 3). Makhluk yang tidak mempunyai pilihan dan selalu menjadi objek.

Dalam budaya patriarkhal, seorang perempuan dikatakan bernilai hanya dilihat dari segi fisik sepertti kecantikan, keanggunan, kesucian, menguasai pekerjaan domestik, dsb. Hal tersebut menjadi syarat mutlak bagi seorang perempuan untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Perempuan yang memiliki syarat-syarat ini diharapkan dapat memikat pria-pria dan kemudian keinginan mereka tercapai. Namun tanpa disadari mereka telah memasuki ‘Penjara Kaca', terkungkung oleh suatu dominasi dan kekuasaan laki-laki.

Ironisnya, dongeng-dongeng seperti ini di wariskan dari generasi ke generasi, tidak hanya cerita dan tokohnya saja tetapi juga nilai-nilai namun tanpa disadari bahwa nilai moral seperti itu merupakan strategi untuk mempermudah penyebaran misi mitos kecantikan dan mengukuhkan ideologi patriarkhal. Mitos kecantikan merupakan upaya masyarakat patriarkhal (patriarcal society) untuk mengendalikan perempuan melalui kecantikannya.[1] Mitos Kecantikan adalah anak emas yang dibanggakan bagi masyarakat patriarkhal. Mitos kecantikan ini dikonstruksikan ke dalam norma dan nilai sosial budaya sehingga apa dikatakan mitos kecantikan ini menjadi kebenaran yang absolut.

Kate millet dalam bukunya Sexual Politics berpendapat sebagai berikut :
"Ideologi patriarkhal melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Ideologi ini sangat berkuasa sehingga sekilas terlihat perempuan menerima penindasan yang dilaminya. Mereka melakukan ini melalui institusi-institusi seperti di akademis, gereja, keluarga yang menjustifikasi dan menguatkan subordinasi terhadap perempuan sehingga membuat perempuan secara internal merasa inferior terhadap laki-laki."[2]

Dalam mitos kecantikan, perempuan dikendalikan oleh suatu doktrin kecantikan. Doktrin kecantikan ini meliputi pengendalian tubuh dan seksualitas perempuan. Mitos kecantikan merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi dan seksual namun sesungguhnya akar permasalahan ini dominasi tubuh dan seksualitas perempuan oleh laki-laki. Ketika dominasi ini muncul ke permukaan maka tidak dapat terlepas dari hubungan kekuasaan laki-laki yang mengatasi seksualitas dan tubuh perempuan. Feminis Radikal menyebut ini dengan istilah the person is political (yang pribadi adalah politis) atau Kate Millet sebagai seorang feminis radikal menegaskan sexual is politics. Hasil dari mitos ini berupa definisi mengenai dua jenis perempuan.

Perempuan yang baik-baik merupakan perempuan yang patuh terhadap norma dan nilai-nilai budaya. Sedangkan perempuan yang dikatakan tidak baik merupakan perempuan yang tidak patuh terhadap norma dan nilai-nilai budaya. Norma dan nilai-nilai budaya yang dimaksud disini tentu saja bersumber dari Ideologi Patriarkhal.

Mitos Kecantikan dan Tubuh Perempuan

Dalam masyarakat patriarkhal, penampakan fisik perempuan yang didoktrin mitos kecantikan ini menjadi standar ideal untuk memberi nilai seorang perempuan. Mitos ini mengajarkan bagaimana cara berpakaian yang baik, bertingkah laku yang baik, bagaimana memperlakukan tubuh dengan baik. Semua itu mereka sebut dengan moral. Dengan bertingkah laku yang baik, berpenampilan sesuai norma dan nilai, perempuan dapat menjaga moral seluruh umat manusia. Hadirnya mitos berkedok moral ini justru menimbulkan konflik moral. Konflik moral terjadi akibat persaingan vertical antar perempuan dalam menunjukkan kecantikan yang mereka miliki. Tujuannya hanya satu, mendapatkan penghargaan dari masyarakat patriarkhal.

Hal ini digambarkan sempurna dalam dongeng Cinderella ini. "Para perempuan di seluruh negeri berdandan secantik mungkin, memakai gaun yang terbaik, memakai sepatu yang terbaik, memakai perhiasan yang mahal. Para ibu sibuk mempercantik putri mereka. Semua ingin berdansa dengan pangeran. Semua ingin mendapatkan perhatian pangeran. Semua ingin menjadi istri Sang Pangeran."

Cinderella pun ditampilkan sebagai sosok yang ideal. Cantik, bertubuh langsing, memakai gaun indah, memakai sepatu kaca, dan membawa kereta kencana yang sangat mewah. Citra ideal tersebut merupakan fantasi laki-laki. Citra ideal tersebut menjadi panduan perempuan dan impian perempuan yang sesungguhnya adalah sebuah mimpi yang tidak pernah tercapai. Akan tetapi, mengapa fantasi ini terus diwariskan dari generasi ke generasi? Tentu saja karena ini berguna untuk mengendalikan perempuan. Pada akhirnya perempuan lebih menyibukkan diri untuk mempercantik dirinya yang sudah cantik namun demikian tetaplah kaum laki-laki yang menjadi juri kontes kecantikan ini. Laki-laki tidak akan pernah terpuaskan sedangkan perempuan akan terus berusaha untuk menjadi sempurna menuruti fantasi laki-laki. Ini semakin menenggelamkan perempuan dalam inferioritasnya dan menjauhkan perempuan atas dirinya sendiri. Bayangkan saja perempuan tidak berhak menilai tubuhnya, apa yang terbaik bagi tubuhnya, apa yang dia inginkan untuk tubuhnya, semua digantungkan pada penilaian laki-laki, hal tersebut membuat perempuan terasa asing oleh tubuh dan dirinya sendiri.

Konflik moral akibat mitos kecantikan ini juga menimbulkan stress di bawah sadar perempuan. Hasilnya adalah perempuan melakukan kekerasan dan penindasan pada kaumnya sendiri. Kita dapat melihat kembali penggambaran ini dalam dongeng cinderella : "Ibu tiri dan kedua kakak tiri cinderella tidak menyukai ciderella karena Cinderella sangat cantik, lembah lembut dan baik hati. Mereka iri terhadap cinderella. Mereka memperlakukan Cinderella seperti pembantu dan memberikan pakaian kumal kepada Cinderella"

Masyarakat patriarkhal tidak mereduksi konflik moral ini tetapi justru menampilkannya ke publik dan menjadikan hal tersebut menjadi pengetahuan umum ( publik knowledge ) dan lagi-lagi pengetahuan umum ini menjadi bagian dari doktrin yang mengakar kuat yang semakin menimbulkan kebencian terhadap perempuan. Tampilan dari hal tersebut antara lain menjelaskan bahwa perempuan adalah makluk yang mengerikan, mempunyai sifat dengki dan iri hati, emosional, terlalu berperasaan dan mementingkan hal-hal yang remeh seperti bersaing untuk menjadi yang tercantik, sibuk mempercantik dirinya dan terlalu mengagung-agungkan pesona fisik dibandingkan intelektualitas.
Bagian lain yang menarik untuk di kritisi yaitu pada saat Pangeran mencari Cinderella. "Pangeran mencari Cinderella ke seluruh negeri. Suatu ketika pangeran menemukan sebuah rumah dimana terdapat tiga orang perempuan. Ketiga perempuan adalah Ibu tiri dan kedua saudara tiri Cinderella. Pangeran ingin mengetahui apakah dari ketiga perempuan itu salah satunya adalah Cinderella. Kemudian pangeran memasangkan satu pasang sepatu kaca secara bergiliran kepada Ibu tiri dan saudara tiri Cinderella. Akan tetapi kaki ketiganya tidak ada yang pas dengan sepatu kaca itu. Kemudian pangeran yang tampak putus asa dan dia bertanya kepada Ibu tiri apakah ada seorang perempuan lagi di rumah ini. Ibu tiri menjawab bahwa tidak ada orang perempuan lagi di rumahnya selain dirinya dan kedua anaknya. Namun kemudian terdengar bunyi sesuatu terjatuh. Pangeran terkejut dan mencari arah suara itu. Pangeran menemukan seorang perempuan kumal penuh abu di dapur. Pangeran meminta Cinderella untuk mencoba sepatu kaca tersebut. Ternyata sepatu itu pas sekali dengan kaki Cinderella. Seketika itu juga Cinderellah berubah wujud menjadi Cinderella yang cantik. Kemudian Pangeran meyakini bahwa dialah Cinderella yang dicarinya Pangeran yang telah menemukan belahan hatinya tidak lagi membuang-buang waktu. Dia meminta Cinderella untuk ikut dengannya ke Istana. Disana Pangeran dan Cinderella menikah dan hidup bahagia"

Jika kita analogikan maksud dari bagian dari dongeng tersebut maka dicapai kesimpulan bahwa Pangeran tidak mengenal Cinderella versi kumal karena pakaian dan wajahnya sangat kotor dan kumal. Setelah sepatu kaca pas dengan kaki Cinderella pangeran belum yakin bahwa itu adalah Cinderella namun ketika Cinderella berubah wujud menjadi sosok Cinderella yang cantik barulah pangeran meyakini bahwa dialah Cinderella. Dongeng ini berakhir bahagia (happy ending) karena pangeran telah menemukan Cinderella versi cantik. Bagaimana keadannya jika Cinderella tidak berubah menjadi sosok Cinderella versi cantik, atau bagaimana jika pangeran bertemu Cinderella versi kumal tanpa sepatu kaca? Jawabannya mungkin kisah ini tidak akan berakhir bahagia. Mungkin akhirnya pangeran frustasi karena tidak menemukan Cinderella versi cantik sedangkan Cinderella terus terhanyut dalam mimpi tentang pangeran yang tidak akan pernah mendatanginya. Dari sini kita melihat bahwa kecantikan memegang peranan besar terhadap kebahagian seseorang.

Setelah kisah ini selesai diceritakan biasanya para orang tua menjelaskan moral dongeng ini kepada anaknya bahwa seseorang yang berbuat baik akan mendapatkan keberuntungan sebaliknya bahwa seseorang yang berbuat jahat akan menuai kesengsaraan. Namun, apakah anak-anak perempuan tadi menghayati moral tersebut. Saya berpendapat tidak, yang melekat di dalam hati anak-anak tadi pastilah sebuah impian mempunyai wajah yang cantik sehingga bisa mendapatkan seorang pangeran dan dapat hidup di istana. Pada akhirnya mitos kecantikan lebih kuat melekat dibandingkan moral tentang kebaikan tadi, dengan demikian strategi masyarakat patriarkhi dalam mempopulerkan mitos kecantikan melalui dongeng anak-anak sukses besar. Bagaimana prosesnya ? mereka menarik simpati para orang tua untuk membacakan dongeng ini kepada anak-anaknya dan para orang tua tersebut menganggap positif karena dongeng ini mempunyai nilai moral tentang kebaikan. Akan tetapi para orang tua tidak menyadari dampaknya pada anak-anak mereka khususnya anak-anak perempuan mereka. Dongeng ini hanya menghasilkan mimpi-mimpi bagi anak perempuan dan bukan imajinasi. Mimpi hanya akan menidurkan anak-anak dalam khayalan yang mendalam. Lawan dari mimpi yaitu imajinasi. Imajinasi ini akan menghasilkan sesuatu yang kreatif.[3] Tetapi sayangnya hal yang terakhir ini tidak terdapat dalam dongeng Cinderella.

Mitos Kecantikan dan Seksualitas Perempuan
Pengendalian seksualitas perempuan juga menjadi agenda dari Mitos Kecantikan. Dalam Dongeng Cinderella ini kita melihat adanya hal tersebut walaupun tidak tertuang secara eksplisit tetapi secara implisit. Hal yang dapat digambarkan dalam dongeng ini berkaitan dengan hal tersebut adalah realitas sosial mengenai perempuan yang menikah dua kali (Ibu tiri Cinderella) dan konsep perempuan sebagai makhluk inferior yang berfungsi sebagai alat reproduksi. Menurut MacKinnon dalam bukunya yang berjudul Feminism, Marxism, Method and the State: An Agenda for Theory, menemukan bahwa dalam mengkonseptualisasikan realitas sosial harus juga mengkonstruksikan realitas seksual pada saat yang bersamaan. Melalui dongeng ini ada sebuah konsep yang tertanam kuat dalam masyarakat patrarkhal dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Ibu tiri adalah perempuan yang jahat. Ibu tiri selalu jahat kepada anak tirinya. Dari sini sebenarnya terkandung dua dimensi yang tersembunyi dari realitas sosial ini.

1. Konsep mengenai kebencian terhadap Ibu Tiri. Ibu tiri selalu di definisikan sebagai Ibu yang jahat. Hal ini berhubungan dengan konsep perempuan yang menikah dua kali. Masyarakat patriarkhal tidak menyukai hal itu karena hal tersebut menunjukkan superioritas perempuan. Institusi gereja pun melarang perceraian dan memandang rendah perempuan yang menikah dua kali. Tokoh Ibu tiri yang jahat dalam dongeng ini sengaja diciptakan untuk menyebarkan pandangan umum tentang Ibu tiri dengan harapan anak-anak perempuan yang membaca cerita ini dapat memperoleh gambaran mengenai ibu tiri yang jahat kemudian anak-anak tersebut dapat melarang ayahnya untuk menikah lagi.
2. Adanya pandangan kebencian mengenai perempuan bahwa perempuan dapat berubah menjadi sesuatu yang mengerikan seperti menindas, melakukan kekerasan, iri hati, dan emosional. Dengan alasan ini maka diperolehnya legitimasi bahwa perempuan harus diatur dan dikendalikan. Padahal perubahan diri perempuan dari feminitasnya menjadi sesuatu yang mengerikan ini merupakan hasil dari Mitos Kecantikan yang tak lain adalah anak emas dari Ideologi Patriarkhal.

Selain konseptualitas mengenai Ibu Tiri, di dalam dongeng ini juga terdapat konsep perempuan sebagai makhluk inferior yang berfungsi hanya sebagai mesin reproduksi. "Raja dan Permaisuri menginginkan pangeran cepat menikah karena mereka ingin secepatnya mempunyai cucu, sementara pangeran belum berkeinginan untuk menikah karena belum menemukan perempuan yang sempurna"

Bagian yang ditunjukkan dalam cuplikan singkat dongeng tersebut terlihat bahwa fungsi pernikahan adalah untuk menghasilkan generasi yang pada akhirnya dapat melestarikan keturunannya. Disini terlihat peran perempuan sebagai mesin reproduksi anak. Raja dan Permaisuri menginginkan seorang cucu, sedangkan pangeran menginginkan perempuan yang sempurna untuk dijadikan Istrinya, mereka semua menginginkan keturunan yang sempurna. Apa yang terjadi jika Cinderella tidak memiliki keturunan atau jika Cinderella melahirkan seorang anak yang tidak sempurna? Jika dongeng Cinderella di realisasikan dalam kehidupan nyata, mungkin yang akan terjadi bahwa pangeran mungkin akan menikah lagi dengan seorang perempuan yang menurutnya sempurna dengan harapan tetap bisa menghasilkan keturunan yang sempurna.

Selain itu kita dapat melihat alur kehidupan seorang perempuan yang ideal yang diciptakan Mitos kecantikan melalui dongeng ini. "Kemudian Pangeran meyakini bahwa dialah Cinderella yang dicarinya Pangeran yang telah menemukan belahan hatinya tidak lagi membuang-buang waktu. Dia meminta Cinderella untuk ikut dengannya ke Istana. Disana Pangeran dan Cinderella menikah dan hidup bahagia "
Alur yang ideal menurut dongeng ini bahwa perempuan dewasa haruslah menikah setelah itu melahirkan dan menjadi seorang ibu lalu melayani suami dan anaknya dengan penuh kasih sayang. Sekali lagi ini merupakan pengendalian pada diri perempuan. Menjadi seorang istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya merupakan akhir dari perjalanan perempuan dan ini digambarkan sebagai akhir yang bahagia (happy ending). Hal ini merupakan suatu pengendalian terhadap perempuan agar perempuan tetap berada dalam ranah domestik dan tersubordinasi. Ia harus menjadi pelayan bagi suami dan anak-anaknya.

Kesimpulan
Dongeng Cinderella merupakan salah satu contoh dari sekian banyak dongeng-dongeng yang mengandung Mitos Kecantikan untuk melestarikan Ideologi Patriarkhal. Dongeng-dongeng ini tumbuh subur dalam berbagai bentuk, beragam cerita dan disampaikan dari generasi ke generasi. Tanpa disadari Dongeng ini ikut membentuk suatu pranata sosial yang membedakan secara tegas peranan sosial perempuan dan laki-laki. Tanpa disadari perempuanlah yang menjadi korban dari semuanya ini. Karena Mitos Kecantikan menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan.

***
[1] Wolf , Naomi. Mitos Kecantikan : kala kecantikan menindas perempuan. Yogyakarta : Niagara . 2002. Hal : 25 [2] Kate Millet . Sexual Politics. New York : Garden City, Doubleday . 1970. Hal 32[3] Gadis Arivia dalam diskusi yang berjudul Joe Millionaire Indonesia di Ged.IV. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya , Universitas Indonesia

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=9&dn=20070313122410

1 comments:

Johnny Lone said...

Sudut pandang yang menarik sekali