Wednesday, August 6, 2008

Membuka Kerangka Dongeng Cinderela (1)

Penindasan Perempuan dalam Kerangka Dongeng Cinderella

"Alkisah, disebuah negeri antah berantah hiduplah seoang gadis yang cantik jelita namun dia menderita hidupnya akibat ulah ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Dia menjadi pelayan bagi Ibu tiri dan kedua saudara tirinya. Suatu ketika pangeran mengumumkan akan mengadakan pesta dansa 3 hari 3 malam untuk mencari Isteri.

Para gadis di desa itu sibuk mempersiapkan diri dengan mempercantik diri mereka, membeli gaun yang indah untuk pergi ke pesta dansa itu. Tak terkecuali kedua saudara tiri Cinderella. Harapan para gadis-gadis itu hanya satu, menjadi yang tercantik, dapat memikat hati sang pangeran, dan selanjutnya dapat menjadi isteri pangeran, dan dapat hidup sampai akhir hayat denagn bergelimangan kemewahan dan kekayaan…"


Cuplikan resensi Film diatas diambil dari film yang berjudul Cinderella Story, diputar di salah satu setasiun Televisi Swasta,18 November 2004 lalu, sangat memiriskan hati saya, ini bukan nilai moral yang sering di ceritakan guru-guru TK kepada murudnya atau seorang nenek menjelaskan nilai moral cerita ini seusai mendongeng tidak lebih dari nilai moral klasik yang cendrung seragam dari dongeng yang satu dengan dongeng yang lain dimana yang baik selalu menang dan yang jahat selalu kalah. Namun tanpa kita sadari penciptaan dari dongeng-dongeng Putri dan Raja atau dongeng-dongeng kepahlawanan seperti ini mempunyai misi tersembunyi dibalik penciptaannya. Saya akan mengambil kisah Cinderella sebagai contoh untuk menjelaskan misi tersembunyi tersebut melalui perspektif feminis.

Yang menarik untuk dibicarakan disini dimana para gadis bersusah payah mempercantik diri mereka hanya untuk pergi ke pesta istana. Mengapa ? Karena Mereka ingin mengikat hati pangeran Lalu apa ?Selanjutnya dapat menjadi isteri pangeran, dan dapat hidup sampai akhir hayat denagn bergelimangan kemewahan dan kekayaan. Dongeng picisan seperti ini di wariskan dari generasai ke generasi, tidak hanya cerita dan tokohnya saja tetapi juga nilai-nilai moralnya. Dongeng-dongeng semacam ini sengaja diciptakan sebagai penegasan bahwa perempuan adalah 1)Makhluk inferior yang tidak bisa hidup tanpa mengandalkan penampakan fisik mereka.2)Makhluk lemah, tidak dapat hidup mandiri, dan selalu berada di bawah kekuasaan laki-laki.3)Makhluk yang tidak mempunyai pilihan dan selalu menjadi objek. Dalam budaya patriarkhi, seorang perempuan dikatakan bernilai hanya dilihat dari segi fisik sepertti kecantikan, ke anggunan, mengusasi pekerjaan domestik, dsb. Hal tersebut menjadi syarat mutlak bagi seorang perempuan untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Perempuan yang memiliki syarat-syarat ini diharapkan dapat memikat pria-pria dan kemudian keinginan mereka tercapai. Namun tanpa disadari mereka telah memasuki ‘Penjara Kaca’, terkungkung oleh suatu dominasi dan kekuasaan laki-laki. Seperti apa yang dikatakan Ann Forman seorang feminis Marxis bahwa laki-laki mencari pembebasan alienasinya melalui hubungannya dengan perempuan, sedangkan untuk perempuan tidak ada jalan pembebasan lain karena hubungannya dengan laki-laki merupakan struktur utama penindasannya.

Saya jadi teringat pandangan-pandangan misoginis para filusuf terkenal yang mungkin sedang tertawa di alam kuburnya melihat doktrin-doktrin misoginis mereka masih mengakar kuat hingga kini. Aristoteles dalam bukunya De Generatione Animalium yang mengatakan bahwa terdapat pihak yang menguasai dan dikuasai dalam negara rumah tangga, dimana posisi penguasa (Raja) diisi oleh laki-laki (suami) dan posisi yang dikuasai (budak) diisi oleh perempuan (istri). Imanuael Kant dalam bukunya yang berjudul Observation on the feeling of the Beautiful and the sublime (1764) bahwa perempuan mempunyai perasaan yang kuat dari dalam tentang apa yang cantik, anggun dan kesesuaian dekorasi, sejak kecil mereka menyenangi saat mereka dikagumi. Atau menurut Schopenhaver yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang senantiasa kanak-kanak karena memiliki karakter sembrono dan picik, tidak memiliki keadilan, memiliki kekuarangan dalam cara bernalar dan juga mempunyai kualitas kebodohan.

Doktrin-doktrin itu masih mengakart kuat karena ada dukungan dari budaya yang kini dapat dilihat di alam realitas. Para Ibu sibuk mempercantik anak gadisnya di hari raya untuk diperkenalkan kepada relasi-relasinya yang lebih mapan atau para remaja putri sibuk mempercantik dirinya dengan aneka rupa acessoris dan bergaya bak artis local atau mengimpor gaya artis luar. Atau satu kasus yang baru saja saya temukan yaitu berkuliah dengan niat khusus untuk mendapatkan jodoh. Mereka yang punya niatan tunggal dalam berkuliah, pergi ke kampus dengan dandanan seperti orang pergi ke klub malam, pakaian yang tak layak dipakai di lingkungan intelektual akademis!Semua itu mereka lakukan denagan 1 tujuan, memikat hati laki-laki yang lebih mapan untuk meningkatkan status social mereka. Memang kebanyakan kasus seperti ini banyak terjadi di daerah dan terus berjalan hingga kini karena mendapat dukungan dari budaya masyarakat setempat. Seorang anak gadis diharapkan cepat mendapatkan jodoh dari kemampuannya di bidang domestik atau kempauannya mempercantik diri mereka. Ketika gadis itu menikah, para orang tua bisa bernafas lega karena bisa lepas dari tanggung jawab dan sang gadis itu kini masuk dalam kekuasaan suaminya, Ia menjadi ibu bagi anak-anak mereka, terus mempercantik diri mereka yang sudah cantik untuk sekedar menpertahankan Rumah tangga, melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, dsb. Keterperangkapan perempuan adalah jika dia hanya bekerja di bidang-bidang yang tidak menghasilkan komoditi atau hanya menghasilkan pekerjaan-pekerjaan domestik yang selalu dianggap remeh oleh kaum laki-laki.

Mungkin R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Betty Fridan, Marry Wollstonescarft dan Elizabeth Cady Stanton sedang menangis di alam kuburnya melihat hasil perjuangan mereka tidak dimanfaatkan oleh para perempuan kini. Terjadinya degradasi bahwa para perempuan hanya berorientasi untuk menikah dan mengurus rumah tangga, hal tersebut semakin mempertegas bahwa perempuan sebagai makluk inferior yang selamanya tergantung pada laki-laki seperti perkatannya Simone de Beauvoir, seorang feminis Eksitensialis yang mengatakan “perempuan selalu menjadi ‘the others’ (yang lain). Perempuan selalu mencari referensi kepada laki-laki. Laki-laki disini jelas menjadi subjek, Ia absolute sedangkan perempuan adalah objek”.

Hendaknya perempuan perlu membebaskan dirinya dari ketergantungan para laki-laki. Seorang perempuan harus kuat, mandiri, mempunyai keterampilan dan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Keterampilan dan kempuan bertahan hidup diperlukan untuk membebaskan diri dari ketergantungan, dapat mempunyai pilihan dan menemukan jati dirinya. Perempuan juga merupakan manusia sama halnya dengan laki-laki, berhak memililih dan mempunyai pilihan dalam menjalini hidupnya dari awal hingga akhir. Hendaknya pernikahan bukanlah menjadi orientasi utama seorang perempuan karena itu akan semakin mendekatkan perempuan menjadi ‘the others’.





Depok, 2005

Indah Survyana

2 comments:

Fajar Indra said...

hoi... tulisan lo panjang banget

Johnny Lone said...

Nice Post